Thursday, June 29, 2017

Jika kamu merasakannya



Sudah lama saya ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan, tapi kadang saya bingung harus memulai darimana..

Pikiran ini penuh, tapi begitu didepan leptop tiba-tiba dia bilang “mau ngomong apa ya.. Mulai darimana ya.. Bagaimana ya mengungkapkannya.. Dan lain sebagainya..”

Sebenarnya saya mau ngomongin apa ya.. Coba diikuti saja ya.. Perasaan ini muncul ketika saya merasa heran dengan orang yang tidak mengerti apa yang orang lain rasakan, ko bisa tega ya? Ko dia gitu ya?

Well, kita memang tidak bisa memaksakan orang lain untuk merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan. Perasaan saya saja yang kadang terlalu baper alias bawa perasaan tiap liat orang lain, terlalu over thinking.. “how if i was on that situation? Gimana kalo saya yang ada diposisi mereka? Gimana kalo saya ngerasain apa yang mereka rasain? Gimana kalo itu saya? Saya mau orang lain apa kalo saya ada diposisi itu?.. And so many think…”

Bagaimana ya menyebutnya..

Before that.. Saya tidak mau menjadi seorang yang menghakimi, melebeli seseorang dengan istilah atau panggilan yang buruk.. Sampai sekarang saya masih berpikir istilah apa yang pantas untuk menyebut seorang wanita yang mau-maunya meladeni seorang lelaki yang sudah mempunyai hubungan dengan wanita lain, tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan wanita tersebut.. Any idea? Akhirnya.. Tulisan ini adalah tentang wanita itu.

Saya pernah berada diposisi itu, beberapa masa menuntun saya untuk jadi wanita seperti itu.. Jadi wanita yang didekati oleh seorang lelaki yang have a relationship dengan wanita atau sebutlah.. Istri orang lain. Lebih dari lima kali, enam, delapan atau sepuluh? Entahlah.. Tapi yang paling saya ingat ada tiga masa yang sampai sekarang saya jadikan sebagai pengingat dan warning besar buat saya.

Yang pertama adalah masa ketika saya masih “bau kencur”, kelas satu SMA. Pada saat itu saya ingin sekali merasakan hal yang namanya “pacaran”, seperti teman saya kebanyakan. Akhirnya saya pun punya pacar, dengan latar belakang “ikut-ikutan”, yang saya rasakan bukan cinta, tapi perasaan bangga karena.. Hey look! Finally i have a boyfriend.. Hahaha plis deh nong. Tapi kebanggaan itu ga bertahan lama dua minggu setelah memutuskan untuk menjalin hubungan saya didatangi seorang wanita, she said that “memang saya sama pacar kamu sekarang sudah putus, tapi kita sudah lama menjalin hubungan, saya sangat mencintai dia, salah saya karena terlalu keras sama dia, saya mohon lepaskan dia buat saya”

Masih awam soal relationship tiba-tiba dihadapkan dengan hal seperti itu, tapi apa yang saya lakukan? Saya memutuskan untuk melepas “pacar pertama” saya, because why? Saya gak mau menyakiti perasaan wanita itu, lagi pula sayapun masih belum paham makna menyukai seseorang, tidak seperti wanita itu yang sangat mencintai dia, saya tidak mau berbahagia dengan dia sedangkan wanita itu menangis karena masih mencintainya. Akhirnya kisah cinta pertama sayapun selesai hanya dalam waktu dua minggu.

Yang kedua adalah masa ketika saya kuliah, tingkan dua. Saat itu saya sedang mengalami masalah keluarga dan perekonomian. Untuk seseorang yang bisa kuliah karena “beasiswa”, tambahan uang saku sangat saya butuhkan untuk membeli pelbagai kebutuhan kuliah dan tinggal di tempat kost. Saat saya sedang mengajukan beasiswa lainnya pada lembaga pendidikan tingkat provinsi tiba-tiba saja seorang lelaki mendekati saya, tampilannya sangat berpendidikan, good loking, saya kira sih bujangan tua yang mentingin karier. Saya tidak terlalu merespon terhadapnya tapi saya terpaksa meresponnya karena dia yang mengurus beasiswa saya itu. Pada suatu sore tanpa saya tahu diapun menjemput saya dengan kendaraan pribadinya di depan kampus, kami pun pergi. Dia membawa saya ke suatu restoran cukup mewah, menawarkan saya macam-macam makanan, treat me like i’m a princess. Dia bilang senang dengan cara hidup saya, dengan saya dan ingin menjadikan saya.. “istri kedua”

What?! Betapa kagetnya saya begitu dia bilang istri kedua. Pada saat itupun saya langsung menyadarkan diri, “jangan sampai terlena. Ini bukan hal yang wajar walaupun baik”. Jadi istri kedua itu baik, kan? Agamapun membolehkan, kan? Dia menceritakan kehidupan rumah tangganya yang tidak terlalu baik, istrinya yang tidak menurut padanya, gaya hidup istrinya yang glamour dan lainnya.. Saya cuma bisa mendengarkan dan berharap masa ini segera berlalu, kepingin cepat pulang dan bernafas, rasanya sesak pergi dengan suami orang lain. Setelah pulang sayapun memutuskan untuk tidak lagi ada kontak dengan dia, beasiswa gak di urus? Gak masalah! Biar Allah yang ngatur rezeki saya dikesempatan lainnya. Saya sangat tidak ingin menyakiti istrinya, pun  saya tidak ingin jika nanti saya sudah punya suami, suami saya menceritakan keburukan saya di depan wanita lain lalu mengajak wanita itu jadi istri kedua, itulah kenapa sejak saat itu saya tidak lagi mau berhubungan dengan dia.

Masa yang ketiga adalah ketika saya menjalani kesibukan mahasiswa semester akhir. Seseorang yang dulu pernah menempati ruang di hati saya mengatakan “bulan depan saya menikah. Mungkinkah ada kesempatan kita untuk bisa bersama lagi? Kalo ya, saya akan memutuskan untuk berhenti dengan ini”. Seketika saya pun merindukannya, menginginkannya., seseorang yang dulu dengan perhatian, pengertian dan kasih sayang yang banyak terhadap saya, seseorang yang bahkan sudah saya lepaskan tapi tetap menggenggam saya dengan erat, mungkinkah jika saya melewatkan kesempatan ini saya akan dapatkan yang lebih baik dari dia? Atau setidaknya yang seperti dia?

Satu, dua, tiga jam berlalu.. Pikiran macam apa ini.. Saya pun langsung menyadarkan diri, saya memutuskan untuk mengatakan “tidak” dan menghentikan semua kontak dengannya. Sebelumnya saya sempat mengucapkan selamat atas pernikahannya, memberikan doa dan beberapa video nasehat tentang pernikahan dari ustad yang saya kagumi.

Biarlah.. Semoga nanti saya dipertemukan dengan orang yang lebih baik atau jika tidak, saya bersabar terhadapnya. Tidak mungkin saya menghancurkan hati wanita yang sudah berharap dengan kebahagiaan pernikahan, tidak mungkin saya menghancurkan hati wanita itu dan keluarganya. Berbahagialah, saya pun akan berbahagia dengan jalan saya..

Waktu berlalu begitu cepat, saya bertemu bahagia dan harapan. Namun tidak berlangsung lama. Akhirnya saya merasakan masa dimana saya harus mendapati bahwa saya bukanlah satu-satunya wanita. Kenapa saya harus mengalami ini? Padahal saya tidak pernah menyakiti wanita lain dengan mengambil bahagianya. I’m feeling so sad, I’m crying all night long. Tapi apa yang saya lakukan? I try so hard.. Buat ikhlas, buat melepas, saya pun ingin dia bahagia. “mungkin saya bukanlah bahagianya, meski dia adalah bahagia saya”. I just want to know you girl, saya cuma mau bilang “jaga dia baik-baik, perlakukan dia baik-baik, jangan sampai lengah dan lepas dari kamu, seperti dia lepas dari saya” belum sempat saya mengatakan itu, kamu sudah menutup kontak dengan saya, berbahagia di atas tangisan saya dengan dia “bahagia saya”.

Mungkin memang seperti itulah sifat lelaki, mencari jeda dari hubungannya. Beberapa hanya sampai melirik, beberapa melewati batas. Beberapa melakukannya dengan cara baik, beberapa tergesa-gesa. Tapi disitulah kita sebagai wanita untuk memahami wanita lain, wanita yang sedang dalam hubungan dengan lelaki itu. Bagaimana jika kamu ada diposisi wanita yang diambil lelakinya? Baiklah bukan diambil, lelaki itu yang datang duluan padamu. Tapi tetap saja kamu harus mengerti bagaimana perasaan wanita itu. Bagaimana jika kamu ada diposisi dia? Bagaimana jika lelakimu pergi dengan wanita lain? Apa kamu senang melakukannya? Senang berbahagia di atas tangisan orang lain? Senang orang lain mengemis dan terlihat iba dihadapanmu? Kok bisa sih? Kok tega ya? Apa kamu manusia?

Saya tidak pernah berdoa agar kamu merasakan yang saya rasakan, bahkan saya berdoa agar jangan ada lagi wanita yang merasakan hal yang sama seperti saya. Sungguh! Saya sudah ikhlas untuk lagi-lagi melepaskan.

Tapi ternyata semua itupun tidak berlangsung lama, harapan dan bahagia saya kembali. Apa saya bisa bahagia sepenuhnya? Tidak. I’m thinking about you girl. Are you sad? Apa kamu sedang menangisi kembalinya dia kepada saya? Sungguh! Saya peduli padamu, walau saya tidak ingin bahagia saya kembali padamu. Saya ingin kita bicara dengan baik, saling terbuka dan memahami sebagai seorang wanita. Saya malah ingin jadi seorang yang menepuk bahumu dan mengatakan “tidak apa-apa, nanti akan lebih baik” tapi kamu menutup diri, menutup kontak dengan saya sama sekali. Saya cuma berharap, pun kamu semoga mendapatkan bahagia dan harapanmu dengan yang lain.

Get something girl?

Jangan lagi ya melakukan hal yang seperti itu. Mengambil itu harus dengan cara yang baik agar hasilnya pun baik. Jalan hidup ini memang takdir, tapi pilihan masih bisa kita yang menentukan. Note ini saya buat bukan untuk menyombongkan diri, saya cuma ingin orang lain mengambil pelajaran dari ini, dan khususnya buat saya, agar saya tidak pernah jadi wanita yang mengambil kebahagiaan orang lain atau bahagia di atas tangisan wanita lain. Kecantikan itu bukan segalanya, senang tho parasmu dilihat oleh lelaki banyak? Lalu dipuji “cantik, luar biasa, manis, dan lainnya.”? Hal seperti sudah tidak special buat saya.

Saya tidak pernah iri dengan kecantikan orang lain, saya bersyukur dengan diri saya, saya tidak pernah repot ke salon, bahkan sampai sejauh ini cuma sekali seumur hidup saya pergi ke salon. Saya iri pada wanita yang hanif, sederhana parasnya, teduh bila dipandang, menutup auratnya.

Akhirnya.. Semoga kita semua selalu dalam bahagia.

*nyambil denger lagu rihanna – cry*

29 juni 2017

Friday, June 9, 2017

Halaqoh Cinta


Cie judulnya ada cinta2an.. hihihi
ya begitulah… dalam nama ini aku menemukan cinta, cinta sejati dan satu-satunya, cintaku PadaNya. J

Alhamdulillah wa syukurillah..

Entah udah berapa kali ganti personel, kelompok ataupun pindah kelompok liqoan, yang jelas disinilah tempat dimana aku kembali kepadaNya setelah aktivitas yang selalu dilakukan setiap hari. Halaqoh ini Bagaikan oase di padang pasir, hujan di kemarau panjang, dan pulau di laut samudera. #eaaa

Halaqoh, Liqo, mentoring, tutoring atau apapun itu namanya.. intinya adalah.. kegiatan berbagi ilmu agama islam dalam lingkup kecil yang terdiri dari 4-15 orang yang duduk melingkar, dimana ada murobi (guru) dan mutarobi (anggota). Itu pendapat menurut saya pribadi lho hahaha...

Pertama kali meniatkan diri untuk ikut liqo adalah ketika pekan pertama ikut tutoring kampus, karena masuk mkdu (mata kuliah dasar umum) jadi tutoring ini kesannya masih karena nilai kuliah. Berbeda dengan teman yang lainnya, gue selalu bersemangat setiap kali ikut kegiatan ini, walaupun sangat mengganggu akhir pekan. Awalnya merasa kok materinya terlalu biasa ya.. pernah denger dari dulu juga, murobinya kayanya kurang berilmu nih, dll. tapi itu kata pikiran lho, kalo hati sih jujur sangat nyaman berada di lingkarang itu, kaya lagi dikejar depkoleptor, bikin nagih :p

setiap pekan selama 10 minggu ngabisin waktu selama dua jam buat tutoring, denger kisah hikmah baru, hafalan qur’an juz 30, curcol (curhat colongan), denger hadist, baca qur’an dan bercanda gurau. Tenang, tentram.. begiulah kira-kira gambaran hati ini waktu ada dalam lingkaran itu. Biasanya ada juga mutabaah yaumiah (evaluasi ibadah harian) jadi kadang suka malu sama Allah pas liat ternyata minggu ini gak tahajud!!! (astagfirullah). Beberapa teman bilang kalo mutabaah ini kesannya ria, kalo gue sih jujur engga ngerasa seperti itu, because why? karena mutabaah ini ga di share di sosmed oey! Cuma murobi dan kita yang tahu, sebelum di liatin ke murobipun kita meragap diri  dulu, kalo ternyata dalam satu minggu itu masih ada amalan ibadah yang sedikit, kurang atau bahan gak meningkat dari minggu sebelumnya.. jadi malunya sama Allah.. ternya aku tidak lebih baik dari kemarin L

Tapi semua itu kadang terobati karena biasanya h-1 liqo suka ngejar target ibadah, entah itu shalat sunnahnya, ngaji qur’annya, ataupun hafalannya. Jadi… liqo itu bikin semangat ibadah kan? bahkan sebelum liqo itu dimulai hihihi…

Tutoring selesai. “Kalo mau ikut liqo mesti jadi anggota LDK (Lembaga Dakwah Kampus)”
seriously? hadeuh… paling males berorganisasi, berasi diiket gitu.. tapi gimanaaaaa pengen ikut liqo. Akhirnya dengan ‘agak terpaksa’ Alhamdulillah tercemplunglah dikalangan orang-orang yang #beranihijrah dan #maujadibaik. Setelah dijalani pun gak ada yang sulit, karena hal yang dilakukan bermanfaat dan mendekatkan PadaNya.

Kelompok liqo pertama nama kelomponya Ainul mardiyah dengan harapan kita bisa jadi bidadari syurganya Allah. Insyaa Allah J

Liqo ini murobinya teh Uli, temen liqoannya Nina, naylul, Ihda, Nina S, Hani, Rif’ah. Udah kayak candu, Alhamdulillah hampir ga pernah absen buat liqo tiap minggu, selalu kangen sama “materi agama apa yaaa yang bakal di dapet minggu ini”
    


     







Jalan kebaikan itu sulit, makanya gue selalu bersyukur Allah selalu mudahkan buat ikut liqo tiap minggu, dapat ilmu dan ketentraman disana. Kenapa sulit? Karena ga semua orang istiqomah buat tetep ada dijalan ini, buat terus konsisten silaturahmi dengan yang lainnya. Kemampuan untuk bersilaturahmi, berjalan ke temapat adanya ilmu adalah rizki yang takternilai harganya. Berapa banyak orang yang lalai, lupa dengan akhirat? ga keitung!!! Am so blessed for being part of them. J

Gak lebih dari dua tahun, ada perombakan kelompok, Cuma gue yang keluar dari kelompok ainul mardhiyah. So saaaaaad! katanya gue yang paling semangat liqo jadi mau digabungin sama orang-orang yang liqonya juga rajin. halah! tetep aja sedih, udah berasa punya sodara pedalah heuheu..

but nothing, insya allah karena niatan awal ikut liqo biar ga lepas dari Allah, dijalani sadjahhh..
Kelompok liqo kedua namanya Muti’ah, dengan harapan kita semua bisa jadi istri yang soleha dan manut sama suami, wkwkw… murobinya Teh Yuli, sahabatnya teh Uli hihihi.. Bener banget deh anggota kelompoknya! mereka yang semangat bangetttt belajar ilmu agama, some of them adalah sahabat gue juga di kost-an  hahaha. Anggota kelompoknya ada Vina, Mila, Linda, Lusi, Dwi R, Mba Novi, Yena, Risa, Dina. Banyak kaaan.. Mereka semua orang yang selalu bikin iriiii, tiap kali gue liat amalan ibadah mereka bertambah, makin deket sama Allah. terbukti sekarang, semuanya jadi muslimah hebat! dua dari mereka jadi hafizhah. aaaaaaH aku mah apa atuh L

    






Lama-lama dua orang hafizhah itu keluar, karena emang fokus buat nyantren dan ngafal qur’an. Gak lama juga, satu orang lagi keluar karena bentrok jadwal liqo, akhirnya dia pindah kelompok. Susah toh liqo lengkap itu? susah banget! Udah nyaman banget sama kelompok ini, tapi tau-tau murobinya mesti ganti, bukan lagi teteh-teteh kakak kelas L

Akhirnya gantilah murobi kita sama Mba Yeti, udah berkeluarga, jadi yaa liqonya di rumah beliau. Serada terhambat sama materi kalo buat mahasiswa mah naik turun angkot tuh, wkwkwk.. tapi alhamdulillah niat baik selalu ada jalan, pas liqo selalu ada aja rezekinya hhihihi..


  





Kebersamaan karena Allah emang selalu bikin nyaman, udah kaya punya ibu ke-dua aja ditempat perantauan ke Mba Yeti tuh, tapi lagi-lagi harus keluar dari rasa nyaman itu, ganti lagilah murobi kita ini, personilnya tetep, Cuma ada satu orang yang jadi jarang hadir karena masalah jarak..








itulah manusia-manusia hasil seleksi alam.. hahaha.. tapi terlepas dari liqo-pun sahabat yang lain masih istiqomah belajar ilmu agama, ada yang kerja sambil nyantren, ada yang ikut liqo-an di kelompok yang lebih mudah buat didatangi.. Akhirnya liqo kitapun dimurobi-kan sama Teh Ina sampai akhirnya kita lulus dan pulang ke kota kelahiran (sebagian) karena sebagian lagi ada yang merantau ke tempat lain dan masih stay di Serang.

dan sekarang… di kota kelahiran sekaligus tempat kerja alhamdulillah masih dikasih kesempatan buat liqo, bahkan diwajibkan. Mulanya sedih dan khawatir, takutnya setelah lulus gak lanjut liqo, nantinya malah gak ada masukan ilmu agama sama sekali. belajar sendiri dengan belajar bareng itu rasanya beda lho.. belajar bareng lebih menyenangkan J

Liqo yang sekarang namanya Humairoh, murobinya umi Hana (Bu Nani) anggotanya te saroh, bu umi, te nisa, bu fidoh dan bu efni. Btw gue paling muda dan single, jadi berasa punya kakak-kakak deh berada dilingkaran yang sekarang, hihihi.. sekarang liqo rasanya bener0bener kaya istirahat setalah disibukkan dengan aktivitas ngajar yang nguras tenaga dan emosi.. pas liqo tuh rasanya cessssss aja gitu, adem! hahaha..

   








Gak tau dan gak mau tau gimana rasanya kalo harus berenti dari liqo ini.. Terhitung hari ini, kurang lebih udah lima taun ngejalanin rutinitas ini.. Ya Robbi.. istiqomahkan aku dijalan ini.. terimakasih karena selalu mau menerimaku kembali setelah padahal aku bukan hamba yang taat, aku hanya berada di lingkungan yang taat, padahal aku tak lebih baik dari pendosa manapun.. dan kuatkan ikatan kami ya robb, agar tetap pada jalan ini, tetap dalam islam..
aamiin..


14 Ramadhan 1438 H

9 Juni 2017 M 

Tuesday, June 6, 2017

- Jeda -


Lover, kb. Kekasih.

Aku tak pernah menginginkan kekasih. Untuk mendapatkan kekasih, aku harus kembali ke akar kata itu (love;kasih). Aku memang tak pernah menginginkan kekasih, tapi aku selalu ingin mencintai, dan dicintai.

Ketika aku berkata, Jadilah Kekasihku. Maksudku bukan, ayo menjalin hubungan. Aku tidak bermaksud. Jadilah Rahasiaku.
Aku ingin kita kembali ke akar tadi.
Aku ingin kau menjadi orang yang mencintaiku.
Aku ingin menjadi orang yang mencintaimu.
(david leviathan, 2011 hlm. 141)

Entah sudah hari keberapa kita menghabiskan waktu bersama, saling mengisi dan memenuhi hari. Aku terlalu bahagia dihadirkan seseorang yang sepertimu.
Jeda.. Mungkin itulah yang saat ini paling kita butuhkan. Aku terlalu asyik mencintaimu, terlalu asyik percaya padamu, sampai-sampai aku lupa bahwa kaupun membutuhkan waktu untuk dirimu.
 ---

Fledgling, ks. Masih muda, belum berpengalaman.

Arah dan tujuan kita jelas, namun kita menganggap bahwa kita masih terlalu muda untuk melangkah pada hubungan yang lebih serius. Kamu belum puas dengan masa bermain mu, dan aku masih belum banyak belajar mengenai hal masa depan.

Dalam Jeda ini, aku harap bisa membuka pikiran dan hati masing-masing dari kita. Entah akhirnya kita akan kembali atau memutuskan untuk tak saling menghubungi.
Biarlah.. Kita masih muda, kan? Anggap saja sebagai pelajaran bagi kita untuk masa yang akan datang. Setidaknya aku pernah merasakan bagaimana dicintai dan diperhatikan oleh orang lain.
---

Misgivings, kb. Perasaan waswas; perasaan khawatir.

Semalam aku mendapatkan keberanian untuk bertanya kepadamu apakah kau menyesali kita?
            “Aku kehilangan beberapa hal,” katamu. Tapi kalau aku tidak memilikimu, aku akan kehilangan lebih banyak lagi.”
(david leviathan, 2011 hlm. 147)

Aku tak pernah seberani ini, aku adalah manusia paling pasrah yang tak pernah bisa mengembangkan keinginanku. Aku membiarkan waktu membawaku pada takdir, mimpi-mimpiku menguap bersama angin yang berhembus dalam hidupku.

Berulang kali aku katakan “Aku mencintaimu, hidupku adalah tentang kamu” pertama kali dalam hidupku, aku menginginkan sesuatu dan aku mengatakannya. AKU TAK MAU KEHILANGANMU!
Perjalanan yang telah kita lewati, waktu yang telah kita lalui tak bisa dengan mudahnya aku menyerahkannya pada masa. Masa yang mengantarkan kita pada jurang yang hampir seorang pun tak bisa melaluinya.

 Keinginan ini menguasai diri, menyelimutiku, bahkan memaksaku untuk memenuhinya. Aku tak lagi menjadi aku yang selama ini. Aku menjadi aku yang mencintaimu dan menginginkan bersamamu.
---

Innate, ks. Naluriah.

Aku selalu mengecek teks darimu, berharap kita seperti biasa. Entahlah.. Seolah seperti sudah menjadi kebiasaan yang harus aku lakukan setiap kali ku pegang handphone, darimu.

Bagaimana pun kehilangan bukanlah hal yang mudah, namun ini semua salah kita, kita terlalu egois! Kita menganggap bahwa kita saling memiliki. Akhirnya masa mengantarkan kita pada waktu dimana kita tak lagi merasa tak sanggup untuk bersama namun terlalu sulit untuk saling melepaskan, melepaskan hal yang sebenarnya bukan milik kita. Kau, bukan milikku. Dan aku bukan milikmu. Kita adalah milik kita masing-masing.
---

Placid, ks. Tenang.

Terkadang aku menyukai ketika kita hanya duduk saling bersampingan, menyadari bahwa kita sedang bersama.

Pada akhirnya kita membutuhkan Jeda.. Jadi marilah berhenti sejanak, menjauhkan diri dari kebersamaan untuk melihat kedalam diri kita  masing-masing, apa benar kita harus bersama. Aku akan melihat kedalam hatiku, apa benar aku mencintaimu, atau aku hanya terlalu egois untuk selalu ada disisimu.

Kau pun, lihatlah pada hatimu, apa benar kau mencintaiku, atau kau hanya terbiasa ada aku.

Semoga waktu mengantarkan kita pada kebahagiaan, meskipun akhirnya kita tak bersama..


(Ramadhan, 11, 1438 H)

Friday, August 26, 2016

Kalo udah takdir, Bisa apa?


Dapet gambar ini dari instagramnya kak Renan, masih muda tapi pengusaha sukses banget. Sebenernya gue orang yang mudah banget pasrah sama takdir, tapi setelah baca tulisan digambar itu ya… makin pasrah. hahaha…

Gak pernah nyangka banget bakal jadi pengajar. Pendidik tepatnya,soalnya gue bukan hanya memberikan pengetahuan tapi juga mengajarkan gimana caranya biar anak terbiasa dengan kebaikan.

Mau negesin sekali lagi bahwa gue gak pernah mimpi sekalipun buat jadi pengajar. Gak pernah. Bahkan gak mau. It’s because… gue pernah liat langsung gimana kehidupan seorang guru sekaligus ibu rumah tangga, nanti kalo gue jadi pengajar otomatis gue juga bakal jadi ibu rumah tangga ‘kan? Jadi begini…

Dari dulu gue adalah orang  yang… bisa dibilang peka banget sama apa yang orang lain rasain dan mudah belajar. Waktu kecil, kira-kira kelas 3 SD gue main ke rumah temen yang ibunya seorang guru,  sebenernya ke rumah tetangga dan sebenernya hampir tiap hari gue main kesana. Sekarang beliau udah wafat, (moga Allah selalu meridloi, aamiin).  Namun entah ada yang berbeda, hari itu pokoknya gue main sama temen-temennya gak khusyuk kayak biasanya (kaya solat aja khusyuk, hahaha). Selama main hari itu, gue selalu merhatiin beliau. Beliau baru datang dari sekolah setelah gue berada dirumahnya sekitar kurang-lebih 2 jam-an. Begitu dateng, beliau langsung menanyakan kabar anaknya (temen gue), gimana disekolahnya dan lain-lain pokonya, persis kalo mamah nanya setiba gue pulang sekolah. Hari itu gue bareng  temen yang lainnya, main segala rupa permainan anak 90-an yang ngetrend pada zamannya.

Oke sekalian kenalin temen-temen ah.. ada Yuni, Nia, Lisda, Pratiwi, Awal, Sindi, Gustah, Indah, dan Desi. Dulu tuh mainannya anak cewe jaman 90-an gak jauh dari Barbie, bp-bp’an, skuter-skuterannya si poo teletubies, masak-masakan, main engkle (eh gimana nulisnya? ya pokonya itulah, pasti tau), main karet, kadang juga suka niruin acara tivi kaya family 100 atau apa tuh yang acaranya tebak-tebakan sambil orangnya ngomong apa gitu dalem tabung hahaha *seketika timeflies~

Pokonya masa kecil gue ini masa kecil yang sangat membahagiakan, dapet kasih sayang full dari orangtua, keluarga dan temen-temen.  ngelanturnya jauh banget ya ini hahaha… back to the topic… walopun lagi main sama temen-temen, gue sambil merhatiin ibunya temen gue itu, pulang ngajar, setelah nanya-nanya kabar anaknya, beliau beres-beres dan ganti baju kemudian langsung ke dapur buat masak (dalam hati bilang, kasian ibunya yuni pulang kerja bukannya istirahat malah langsung masak). Gak lama, kira-kira setengah jam kemudian  kita (gue dan temen-temen gue yang lainnya) ditawarin makan bareng sama beliau. Karena emang beliau baik banget, tanpa kita jawabpun itu makanan udah dibawain semua buat kita, dan sebagai anak kecil yang mana tau sama yang namanya malu, kita semua makan aja gitu dengan lahap dan nambah hahaha..

masih tentang beliau, setelah kita beres makan, beliau langsung membersihkan semua cucian piring kotor dan barang-barang yang dipake setelah masak. Kepengin banget bantuin beliau tapi karena gue saat itu masih kecil dan belum dibiasakan buat nyuci piring (dulu kelas 3 SD baru bisa nyapu sama ngelap kaca rumah doang) akhirnya gue cuma memandang beliau yang lagi nyuci piring tapi gak sambil nyanyi dangdut kaya yang suka dilakuin mamah.

Masih dirumah yuni.. Setelah makan, gue sama temen-temen nonton film yang hits banget pada zamannya, guess what? film Indihe meregehese yang aktornya itu-itu mulu, yang kalo sedih atau bahagia nyanyi sambil joget-joget muterin pohon, hahaha… Dulu tuh ampe pada hafal sama lagunya (lucu deh kalo inget). sambil kita serius nonton dan komentar sana-sini tentang jalannya film itu, gue perhatiin lagi ibunya yunita yang habis nyuci piring, beliau beres-beres dan nyapu rumahnya dari ujung ke ujung, terus langsung mengepelnya (dalam hati bilang, ini orang gak ada diemnya amat gitu ya, gak cape apa? gak mau istirahat apa? gak mau bobok siang apa?). Meski gitu, gue bisa liat jelas muka lelahnya beliau ditambah lagi temen gue yang sedikit manja itu yang apa-apa maunya minta diambilin emaknya. Kalo emak gue yang diminta gitu, entah udah diapain kali sama mamah (dari dulu udah belajar mandiri dong, azek). Tapi beliau selalu aja nurutin apa kata anaknya itu dengan senang hati dan masang muka senyum yang manis. Teduh kalo liat beliau itu, keibuan banget, mungkin karena pengalaman banyak anak ditambah lagi udah ngajar bertahun-tahun.

Masih nonton film yang sama, karena belom beres (sebenernya daridulu kurang suka liat film india, sukanya nonton si shanchai di meteor garden hahaha)  ibunya temen gue itu setelah mengepel rumahnya, beliau langsung ambil beberapa berkas gitu, ya… apalagi gitu kalo bukan administrasi sekolah atau kelas. Beliau duduk di ruang tamu rumahnya ,pake kacamatanya dan bersiap buat mengeksekusi kerjaan beliau yang belum beres disekolah. Ampun deh, capek sendiri liat kegiatan beliau yang gak ada berenti dan istirahatnya itu, kasian aja gitu liatnya, rasanya pengen nyuruh beliau nonton film india bareng terus mijitin punggungnya yang udah minta disenderin ke kasur. Tapi gue urungkan keinginan itu, karena walopun gue masih kelas 3 SD gue inget betul kalo mijitin punggung mamah rasanya pegel banget, apalagi mijitin punggung beliau yang tebelnya hampir 2x lipat punggung mamah. hehehe…

Satu jam lebih kira-kira setelah beliau berada diruang tamu buat ngurusin kerjaannya, akhirnya terdengar teriakan keras nan merdu dari atas, dari rumah gue tepatnya mamah teriak “teteeeeeeeh, pulang udah sore cepet mandi!” bel masuk rumah itu paling ampuh buat bikin gue dan temen-temen yang lain berhamburan keluar dari ruang nonton rumahnya temen gue itu. dengan berat hati, karena kita masih betah main, gue dan temen-temenpun pulang~

Sepanjang jalan dari rumah bu guru ke rumah gue kira-kira 20-30 kaki gue bener-bener mikirin betapa lelahnya jadi beliau. Mamah mungkin capek ngurusin kerjaan rumah, tapi beliau ditambah lagi dengan ngajar dan mengurusi administrasi sekolah/kelas di rumahnya. Beliau bener-bener have no time to take some rest setelah balik ngajar, itupun belum gue sampe liat apa kegiatan beliau ampe merem. Teu kabayang ih capekna!!!


Setelah nyampe rumah, gue langsung mandi. daridulu gue ini bukan orang yang susah buat mandi, seneng banget sama air (malah sering banget ujanan, sampe umur mau 21 ini), jadi ya gak susah buat  disuruh mandi.

Kebayang lelahnya beliau yang bekerja sebagai pendidik sekaligus ibu rumah tangga… Selama mandi, sambil mengguyur air keseluruh badan gue ingat dengan pasti bahwa saat itu gue bertekad bahwa gue GAK MAU JADI GURU TITIK!!!!

to be continued

Wednesday, July 6, 2016

Dasar

Basis, kb. Dasar.
Pasti ada suatu momen, di masa awal, ketika kau bertanya-tanya apakah kau memang jatuh cinta kepada orangnya, atau kau jatuh cinta kepada perasaan cinta itu sendiri.
Jika momen tersebut tak berlalu juga, itu dia-tamatlah kau.

Dan kalau akhirnya berlalu, momen itu tak pernah pergi jauh. Ia menjulang di kejauhan, setiap kali kau menginginkannya lagi.

Kadang-kadang ia bahkan ada disana saat kau pikir kau mencari sesuatu yang lain, misalnya rute pelarian, atau wajah kekasihmu,
(david levithan, 2011 hlm.32)

Kira-kira bergitulah yang aku rasakan pada cinta kali ini, setiap kali aku menanyakan pada hati, ia masih kebingungan bagaimana menjawabnya. Apakah aku benar-benar mencintainya atau aku hanya mencintai perasaan cinta?

Aku tak pernah tahu bagaimana menyebutku sehubungan denganmu. Sedikit melebihi kekasih, tetapi kurang dari pasangan. Terlalu lama waktu yang kita habiskan dalam kemasing-masingan pada sebuah hubungan. Aku membiarkannya, kupikir itu adalah bentuk rasa cintaku untuk mengerti bagaimana caramu menjalani kehidupanmu dan caramu mencintaiku.

Aku menikmati masa dimana aku merindukanmu, namun juga merasa kesal karena mendapati kenyataan bahwa tak satu teks pun kau kirim padaku untuk sekedar menanyakan kabarku. Aku yang seharusnya memulai? Bukankah pernah kucoba? Ya pernah, lalu kau mengabaikannya. Mencoba lagi? Bukannya tak ingin, tapi kurasa harga diriku tidak boleh turun lebih dari yang kemarin.

Aku menikmati masa dimana aku merindukanmu, namun juga merasa sedih karena mendapati kenyataan bahwa sepertinya kau tak lagi peduli padaku. Sampai pada aku menyerah dan menenggelamkan diri pada aktivitas untuk melupakan soal aku ingin meluruhkan perasaan itu; rindu.

Lagi. Aku menahan perasaan untuk menghubungimu biarlah aku mengetahui bahwa “ah… kau masih hidup” lewat keaktifanmu di sosial media, atau temanmu yang juga temanku mengatakan “kemarin aku bertemu dengannya.” Kenyataan-kenyataan itu cukup bagiku.

Aku sampai pada masa dimana akhirnya orang-orang disekitarku mengasihaniku karena perasaanku, kadang mereka kesal kepadaku. Aku tak pernah mengerti mengapa mereka melakukannya, padahal aku tak pernah bermasalah dengan perasaanku. Perasaan itu, aku menikmatinya. Sungguh.

Aku rasa aku benar-benar bingung dengan perasaan ini. Entah apa yang merasukiku sampai akhirnya aku mengatakan keinginanku yang sebenarnya bukan benar-benar keinginanku. Aku menjadi bukan aku. Tadinya kukira setelah aku mengatakannya, kita tidak akan benar-benar bertemu lagi, atau berakhirlah kita. Karena bukan aku jika memaksakan apa yang aku inginkan pada orang lain, maka jika aku telah menerjemahkan perasaan kedalam sebuah pernyataan, itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak butuh kau mengerti, aku hanya ingin kau mengatakan “oh, baiklah.” Aku mengira bahwa yang akan aku katakan adalah perpisahan, lalu kau menyetujuinya.

Sebenarnya ketika aku mengatakannya, aku telah bersiap untuk kehilanganmu, kita, dan perasaan-perasaan. Jika kau mengatakan kita tak usah lagi bertemu atau berbicara dan saling melupakan, aku bahkan akan dengan lapang hati mengatakan “ya, tak apa. I’m ready for it.

Tapi sepertinya aku malah lupa untuk mengatakan “mari kita saling melupakan dan berbahagia dengan cara kita masing-masing.” Hingga akhirnya waktu mengantarkan kita pada saat ini…

***

Dumbfounded, ks. Tercengang, ternganga.
Terlepas dari segenap rasa cemburu, semua keraguan, terkadang aku terkesiap dengan sejenis perasaan terpana dengan kita yang sekarang. Dengan kenyataan bahwa seorang aku dapat menemukan seseorang seperti kau –itu membuatku tak sanggup berkata-kata. Karena pasti kata-kata dapat berkonspirasi melawan kenyataan seperti itu, memprotes betapa tidak mungkin peristiwa-peristiwa bisa berakhir seperti itu. Meskipun ini bukanlah akhir, karena kita tak pernah tahu apa yang akan mengantarkan kita pada kita esok hari.

Aku tidak memberitahu satu pun temanku mengenai kita. Aku menunggu sampai setelah perbincangan selanjutnya, karena aku ingin memastikan ini nyata. Aku tidak ingin percaya ini telah terjadi hingga terjadi untuk kedua kalinya. Sampai sekarang, aku masih meragukannya.
(david levithan, 2011 hlm.89)

Aku masih meragukannya. Bukannya aku meragukanmu, aku meragukan kita.

Jujur. Bukankah kau merasa bahwa ini seperti dipaksakan? Memaksakan agar hubungan kita seperti hubungan orang lain pada umumnya. Aku tau itu bukan kamu yang sebenarnya. Isn’t it?

Sebenarnya aku menyukai saat ini, tapi entah mengapa aku merasakan paksaan, kita seperti memaksakan apa yang tidak seharusnya. Berkomunikasi hampir setiap hari, membicarakan hal yang tidak terlalu penting, membalas pesan dengan cepat.

Kau pasti tau betul apa definisi memaksa, paksaan; melakukan sesuatu yang tidak ingin kau lakukan. Aku merasa ini tidak seperti seharusnya, aku merasa kau memaksakannya, aku merasa ada yang memintamu dengan paksa untuk mengawasiku.

Kau pasti bingung dengan perasaanku yang berubah-ubah ini, awalnya aku menginginkan kepastian namun selanjutnya aku sendiri yang malah meragukan semuanya tapi tetap membiarkannya terjadi.

Mungkin aku butuh sedikit lebih banyak kepastian. Kau tahu bukan kata itu adalah yang paling banyak wanita bicarakan, “kepastian”. Aku memaksakan diri untuk lebih banyak mengutarakan perasaan, menceritakan lebih banyak lagi hal-hal yang tak penting, bahkan memintamu melakukan sesuatu untukku, padahal sebelumnya aku tak pernah melakukan itu, kepada siapapun.

Sebenarnya aku menyukai saat ini, tapi entah mengapa aku rasa aku lebih menyukai masa dimana aku menikmati rasa rindu padamu. Dimana aku bisa merasa tenang hanya dengan melihat your recent updates. Karena aku tidak menyukai masa dimana hasrat menguasai hati dan pikiranku untuk lebih memaksakanmu memenuhinya; kau membanjiriku dengan bukti-bukti, oleh semua jalur yang menghubungkan aku dengan kau, dan kita dengan cinta.

Atau aku hanya mencintai perasaan cinta kepadamu?

Aku ingin lebih yakin padamu, pada perasaan-perasaanmu. Tapi kurasa aku hanya ingin satu hal; kau mengatakan “aku mencintaimu.” Setiap hari.