Sudah lama saya
ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan, tapi kadang saya bingung harus
memulai darimana..
Pikiran ini penuh,
tapi begitu didepan leptop tiba-tiba dia bilang “mau ngomong apa ya.. Mulai
darimana ya.. Bagaimana ya mengungkapkannya.. Dan lain sebagainya..”
Sebenarnya saya mau
ngomongin apa ya.. Coba diikuti saja ya.. Perasaan ini muncul ketika saya
merasa heran dengan orang yang tidak mengerti apa yang orang lain rasakan, ko
bisa tega ya? Ko dia gitu ya?
Well, kita memang
tidak bisa memaksakan orang lain untuk merasakan hal yang sama dengan apa yang
kita rasakan. Perasaan saya saja yang kadang terlalu baper alias bawa perasaan tiap liat orang lain, terlalu over thinking.. “how if i was on that situation? Gimana kalo saya yang ada diposisi
mereka? Gimana kalo saya ngerasain apa yang mereka rasain? Gimana kalo itu
saya? Saya mau orang lain apa kalo saya ada diposisi itu?.. And so many think…”
Bagaimana ya
menyebutnya..
Before
that..
Saya tidak mau menjadi seorang yang menghakimi, melebeli seseorang dengan
istilah atau panggilan yang buruk.. Sampai sekarang saya masih berpikir istilah
apa yang pantas untuk menyebut seorang
wanita yang mau-maunya meladeni seorang lelaki yang sudah mempunyai hubungan
dengan wanita lain, tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan wanita
tersebut.. Any idea? Akhirnya..
Tulisan ini adalah tentang wanita itu.
Saya pernah berada
diposisi itu, beberapa masa menuntun saya untuk jadi wanita seperti itu.. Jadi
wanita yang didekati oleh seorang lelaki yang have a relationship dengan wanita atau sebutlah.. Istri orang lain.
Lebih dari lima kali, enam, delapan atau sepuluh? Entahlah.. Tapi yang paling
saya ingat ada tiga masa yang sampai sekarang saya jadikan sebagai pengingat
dan warning besar buat saya.
Yang pertama adalah
masa ketika saya masih “bau kencur”, kelas satu SMA. Pada saat itu saya ingin
sekali merasakan hal yang namanya “pacaran”, seperti teman saya kebanyakan.
Akhirnya saya pun punya pacar, dengan latar belakang “ikut-ikutan”, yang saya
rasakan bukan cinta, tapi perasaan bangga karena.. Hey look! Finally i have a boyfriend.. Hahaha plis deh nong. Tapi
kebanggaan itu ga bertahan lama dua minggu setelah memutuskan untuk menjalin
hubungan saya didatangi seorang wanita, she
said that “memang saya sama pacar kamu sekarang sudah putus, tapi kita
sudah lama menjalin hubungan, saya sangat mencintai dia, salah saya karena
terlalu keras sama dia, saya mohon lepaskan dia buat saya”
Masih awam soal relationship tiba-tiba dihadapkan dengan
hal seperti itu, tapi apa yang saya lakukan? Saya memutuskan untuk melepas “pacar
pertama” saya, because why? Saya gak
mau menyakiti perasaan wanita itu, lagi pula sayapun masih belum paham makna
menyukai seseorang, tidak seperti wanita itu yang sangat mencintai dia, saya
tidak mau berbahagia dengan dia sedangkan wanita itu menangis karena masih
mencintainya. Akhirnya kisah cinta pertama sayapun selesai hanya dalam waktu
dua minggu.
Yang kedua adalah
masa ketika saya kuliah, tingkan dua. Saat itu saya sedang mengalami masalah
keluarga dan perekonomian. Untuk seseorang yang bisa kuliah karena “beasiswa”,
tambahan uang saku sangat saya butuhkan untuk membeli pelbagai kebutuhan kuliah
dan tinggal di tempat kost. Saat saya sedang mengajukan beasiswa lainnya pada
lembaga pendidikan tingkat provinsi tiba-tiba saja seorang lelaki mendekati
saya, tampilannya sangat berpendidikan, good
loking, saya kira sih bujangan tua yang mentingin karier. Saya tidak
terlalu merespon terhadapnya tapi saya terpaksa meresponnya karena dia yang
mengurus beasiswa saya itu. Pada suatu sore tanpa saya tahu diapun menjemput
saya dengan kendaraan pribadinya di depan kampus, kami pun pergi. Dia membawa
saya ke suatu restoran cukup mewah, menawarkan saya macam-macam makanan, treat me like i’m a princess. Dia bilang
senang dengan cara hidup saya, dengan saya dan ingin menjadikan saya.. “istri
kedua”
What?! Betapa
kagetnya saya begitu dia bilang istri kedua. Pada saat itupun saya langsung
menyadarkan diri, “jangan sampai terlena. Ini bukan hal yang wajar walaupun
baik”. Jadi istri kedua itu baik, kan? Agamapun membolehkan, kan? Dia menceritakan
kehidupan rumah tangganya yang tidak terlalu baik, istrinya yang tidak menurut
padanya, gaya hidup istrinya yang glamour
dan lainnya.. Saya cuma bisa mendengarkan dan berharap masa ini segera berlalu,
kepingin cepat pulang dan bernafas, rasanya sesak pergi dengan suami orang
lain. Setelah pulang sayapun memutuskan untuk tidak lagi ada kontak dengan dia,
beasiswa gak di urus? Gak masalah! Biar Allah yang ngatur rezeki saya dikesempatan
lainnya. Saya sangat tidak ingin menyakiti istrinya, pun saya tidak ingin jika nanti saya sudah punya
suami, suami saya menceritakan keburukan saya di depan wanita lain lalu mengajak
wanita itu jadi istri kedua, itulah kenapa sejak saat itu saya tidak lagi mau
berhubungan dengan dia.
Masa yang ketiga
adalah ketika saya menjalani kesibukan mahasiswa semester akhir. Seseorang yang
dulu pernah menempati ruang di hati saya mengatakan “bulan depan saya menikah.
Mungkinkah ada kesempatan kita untuk bisa bersama lagi? Kalo ya, saya akan
memutuskan untuk berhenti dengan ini”. Seketika saya pun merindukannya, menginginkannya.,
seseorang yang dulu dengan perhatian, pengertian dan kasih sayang yang banyak
terhadap saya, seseorang yang bahkan sudah saya lepaskan tapi tetap menggenggam
saya dengan erat, mungkinkah jika saya melewatkan kesempatan ini saya akan
dapatkan yang lebih baik dari dia? Atau setidaknya yang seperti dia?
Satu, dua, tiga jam
berlalu.. Pikiran macam apa ini.. Saya pun langsung menyadarkan diri, saya
memutuskan untuk mengatakan “tidak” dan menghentikan semua kontak dengannya.
Sebelumnya saya sempat mengucapkan selamat atas pernikahannya, memberikan doa
dan beberapa video nasehat tentang pernikahan dari ustad yang saya kagumi.
Biarlah..
Semoga nanti saya dipertemukan dengan orang yang lebih baik atau jika tidak,
saya bersabar terhadapnya. Tidak mungkin saya menghancurkan hati wanita yang
sudah berharap dengan kebahagiaan pernikahan, tidak mungkin saya menghancurkan
hati wanita itu dan keluarganya. Berbahagialah, saya pun akan berbahagia dengan
jalan saya..
Waktu berlalu begitu
cepat, saya bertemu bahagia dan harapan. Namun tidak berlangsung lama. Akhirnya
saya merasakan masa dimana saya harus mendapati bahwa saya bukanlah
satu-satunya wanita. Kenapa saya harus mengalami ini? Padahal saya tidak pernah
menyakiti wanita lain dengan mengambil bahagianya. I’m feeling so sad, I’m crying all night long. Tapi apa yang saya
lakukan? I try so hard.. Buat ikhlas,
buat melepas, saya pun ingin dia bahagia. “mungkin saya bukanlah bahagianya,
meski dia adalah bahagia saya”. I just
want to know you girl, saya cuma mau bilang “jaga dia baik-baik, perlakukan
dia baik-baik, jangan sampai lengah dan lepas dari kamu, seperti dia lepas dari
saya” belum sempat saya mengatakan itu, kamu sudah menutup kontak dengan saya,
berbahagia di atas tangisan saya dengan dia “bahagia saya”.
Mungkin memang seperti
itulah sifat lelaki, mencari jeda dari hubungannya. Beberapa hanya sampai
melirik, beberapa melewati batas. Beberapa melakukannya dengan cara baik,
beberapa tergesa-gesa. Tapi disitulah kita sebagai wanita untuk memahami wanita
lain, wanita yang sedang dalam hubungan dengan lelaki itu. Bagaimana jika kamu
ada diposisi wanita yang diambil lelakinya? Baiklah bukan diambil, lelaki itu
yang datang duluan padamu. Tapi tetap saja kamu harus mengerti bagaimana
perasaan wanita itu. Bagaimana jika kamu ada diposisi dia? Bagaimana jika lelakimu
pergi dengan wanita lain? Apa kamu senang melakukannya? Senang berbahagia di
atas tangisan orang lain? Senang orang lain mengemis dan terlihat iba
dihadapanmu? Kok bisa sih? Kok tega ya? Apa kamu manusia?
Saya tidak pernah
berdoa agar kamu merasakan yang saya rasakan, bahkan saya berdoa agar jangan
ada lagi wanita yang merasakan hal yang sama seperti saya. Sungguh! Saya sudah
ikhlas untuk lagi-lagi melepaskan.
Tapi ternyata semua
itupun tidak berlangsung lama, harapan dan bahagia saya kembali. Apa saya bisa
bahagia sepenuhnya? Tidak. I’m thinking
about you girl. Are you sad? Apa kamu sedang menangisi kembalinya dia
kepada saya? Sungguh! Saya peduli padamu, walau saya tidak ingin bahagia saya
kembali padamu. Saya ingin kita bicara dengan baik, saling terbuka dan memahami
sebagai seorang wanita. Saya malah ingin jadi seorang yang menepuk bahumu dan
mengatakan “tidak apa-apa, nanti akan lebih baik” tapi kamu menutup diri,
menutup kontak dengan saya sama sekali. Saya cuma berharap, pun kamu semoga
mendapatkan bahagia dan harapanmu dengan yang lain.
Get
something girl?
Jangan lagi ya
melakukan hal yang seperti itu. Mengambil itu harus dengan cara yang baik agar
hasilnya pun baik. Jalan hidup ini memang takdir, tapi pilihan masih bisa kita
yang menentukan. Note ini saya buat
bukan untuk menyombongkan diri, saya cuma ingin orang lain mengambil pelajaran
dari ini, dan khususnya buat saya, agar saya tidak pernah jadi wanita yang
mengambil kebahagiaan orang lain atau bahagia di atas tangisan wanita lain.
Kecantikan itu bukan segalanya, senang tho
parasmu dilihat oleh lelaki banyak? Lalu dipuji “cantik, luar biasa, manis, dan
lainnya.”? Hal seperti sudah tidak special
buat saya.
Saya tidak pernah
iri dengan kecantikan orang lain, saya bersyukur dengan diri saya, saya tidak
pernah repot ke salon, bahkan sampai sejauh ini cuma sekali seumur hidup saya
pergi ke salon. Saya iri pada wanita yang hanif, sederhana parasnya, teduh bila
dipandang, menutup auratnya.
Akhirnya.. Semoga
kita semua selalu dalam bahagia.
*nyambil denger lagu
rihanna – cry*
29 juni 2017