Wednesday, February 26, 2014



Intan Hitam
Seperti biasa wanita ini selalu mengenakan pakaian kantor yang berwarna hitam, Intan namanya, nama yang sesuai dengan parasnya yang cantik bak intan permata. Namun tak pernah sekalipun aku melihatnya tersenyum pada siapapun, tak pernah sekalipun selama dua tahun aku naik bus yang sama dengannya. Aku tahu namanya pun dari tetangga dan pak RT, bahkan menurut tetanggaku, ketika ia melaporkan akan tinggal di komplek kami pun ia tak berbicara sedikitpun, hanya menyerahkan data kependudukan yang di butuhkan. Tidak ada satu orangpun dari komplek rumah kami pernah mendengar suaranya. Setiap kali aku menyapanya pun ia hanya membungkukan badannya seolah tanda salam yang ia berikan, tak pernah tersenyum apalagi bicara.
Aku selalu di belakangnya setiap pagi, karena rumahku berada di sebelah kanan rumahnya, sedangkan jalan menuju halte ke arah sebelah kiri. Aku akan berangkat ke sekolah jika aku sudah mendengar suara gerbang rumahnya di bukakan, ia selalu berangkat pukul 06.15 WIB terlalu pagi ku rasa untuk orang-orang yang sudah bekerja tapi mungkin itu semua karena jarak kantornya yang cukup jauh.
Kejadian ini selalu berulang selama enam hari dalam seminggu, pukul 06.20 WIB ia selalu menoleh ke belakang dan membungkukan badannya kearahku sebelum sesaat tiba di halte bus lalu aku selalu tersenyum membalas sapaannya, tak pernah bosan aku melakukan ini, aku menyukainya, juga menyukai setiap kejadian yang kami alami. Pukul 06.25 WIB bus tiba di halte yang kami tunggu di gang depan komplek perumahan kami. Aku dan Mba Intan menaikinya bersama, tak jarang ia mengajakku duduk disampingnya dengan melihat padaku dan memukulkan tangannya pada kursi kosong di sebelahnya. Meski begitu tak pernah sekalipun kami berbincang, sekedar menanyakan nama, jenis pekerjaannya, ataupun keluarga walaupun rumah kami bersebelahan. Entah mengapa aku tak pernah punya keberanian untuk bertanya atau mengajaknya berbincang, sepanjang perjalanan kami hanya diam, ia selalu melihat ke arah jendela dan aku kadang-kadang membaca buku pelajaran yang kubawa saat itu.
Pukul 06.40 WIB bus tiba di depan sekolahku, aku berdiri untuk segera turun dan melihat kearahnya seolah berpamitan padanya dan lagi, ia hanya membungkukan badannya. Setelah aku turun, bus itu berangkat lagi dan aku memandangi bus itu pergi hingga tak dapat lagi aku melihatnya. Aku selalu bertanya-bertanya apakah ia selalu begitu meskipun ia sedang bekerja, selalu diam dan tak pernah berbicara, apa sebenarnya pekerjaannya dan jenis pekerjaan apa yang menerima pegawainya selalu diam. Tapi aku menyukainya, menyukai setiap apa yang ada padanya.
Pukul 13.40 WIB aku sudah selesai sekolah dan menunggu bus di halte yang sama ketika aku turun. Tak pernah ku dapati Mba Intan di dalam bus sana, meski aku selalu berharap untuk selalu bersamanya dalam satu bus meski kami hanya diam. Pastinya aku mengira bahwa ia belum pulang dari temapat ia bekerja, tapi tak pernah ku dapati ia pulang dari tempat bekerja meski sampai pukul 21.00 WIB aku menunggu suara gerbang rumahnya di bukakan, tak pernah. Wanita ini benar-benar membuatku bingung, seperti apa sebenarnya kehidupannya. Setiap sore ataupun malam tak pernah ku dapati dirinya pulang, namun setiap pagi kami selalu berangkat bersama. Siapa sebenarnya dia ini?
Hari ini hari pertama di tahun ke tiga aku dan dia bersama menaiki bus yang sama, kali ini aku memutuskan untuk di kursi panjang belakang bus, tidak duduk di sampingnya. Hari ini ku putuskan untuk tidak masuk sekolah dan pergi untuk turun dari bus ini bersamanya, mengikutinya kemana ia pergi. Pukul 06.20 WIB bus berangkat dan sepanjang perjalanan tak pernah lengah aku memperhatikannya dari belakang sini. Pukul 06.40 WIB seharusnya aku turun di halte depan sekolah, namun aku tetap pada niatan pertamaku untuk mengikutinya.
Pukul 06.50 ia masih belum turun dari bus, aku semakin bertanya-tanya sebenarnya sejauh mana tempat ia bekerja. Ia masih melihat ke jendela sepanjang jalan. Pukul 07.30 WIB kurasa sebentar lagi tempat pemberhentian  terakhir dari bus ini, sudah mendekati terminal. Akhirnya ia turun, sebelum bus berhenti di terminal. Aku mengikutinya dari jauh, ia menyebrang jalan, kurasa ia akan menaiki angkutan umum selanjutnya. Tapi ternyata ia memasuki pemakaman dekat terminal. Apa  yang dilakukannya? Ia semakin menampakakan imagenya sebagai wanita misterius yang selalu memakai pakian hitam, tidak pernah berbicara, tidak pernah tersenyum dan sekarang pergi ke pemakaman. Aku melihatnya dari kejauhan, ia berhenti di satu makam yang sangat bersih dan rapih, mengeluarkan bunga dari tasnya dan menaburkan bunga tersebut. Setelah lima menit duduk disana ia berdiri, menoleh ke belakang dan melihatku yang memperhatikannya dari kejauhan.dengan tatapan yang sangat tajam  Aku sedikit canggung dan kurasa takut, namun ia tidak menghampiriku, ia mambalikan badannya lagi dan berjalan lurus, menginjak makam-makam yang di lewatnya, berhenti di balik satu pohon besar, dan menghilang….

30 Januari, 2014
Siti Sischa Lusiana


Diantara Keduanya
Diantara keduanya. Berlindung dibawah payung atau membiarkan diriku basah di guyur hujan. Pergi dari tempat ini atau tetap menantinya. Berhenti menantinya atau tetap bertahan.
***
Seperti biasa, sore hari di kota ini selalu hujan. Dan seperti biasa pula aku masih menunggunya datang dari arah yang sama ketika ia pergi meninggalkanku.  Kadang aku menyerah dan ingin segera beranjak dari tempat ini. Apakah ia lupa padaku dan kenangan kita?  Atau ia menemukan persinggahan lain? Namun, hati kecilku yang lain mengatakan untuk tetap bertahan. Seolah berkata bahwa  ia sedang mencari jalan kembali ke tempat ini, padaku. Entahlah..
Magrib tiba, aku pulang. Tapi tenang saja, aku akan kembali esok pukul empat di tempat yang sama, berdandan dan memakai pakaian terbaikku untuk menyambut kedatangannya.  Tapi sampai kapan? Entahlah. Mungkin sampai aku lelah, atau mungkin sampai ia tiba. Tapi kapan? Entahlah..
Aku selalu bersemangat setiap kali pulang kerja karena aku akan kembali ke tempat yang sama untuk menantinya. Aku berdandan di toilet wanita di kantorku, mengganti pakaian kantorku dengan pakaian terbaikku, seolah aku akan bertemu dengannya pada setiap harinya. Meskipun disetiap harinya pun aku selalu pulang sendiri, basah dan menangis. Menyeret payungku sepanjang jalan pulang dan membiarkan hujan membasahiku. Selalu begitu sejak dua tahun lalu.
Hari ini, Rabu 7 Januari 2002. aku rasa aku lelah untuk menunggunya disana. Mungkin aku bosan dengan tempatnya? Atau aku bosan melakukan aktivitas yang sia-sia ini?. Tapi aku harus menunggunya, entah mengapa. Mungkin penantian ini akan berakhir indah? Entahlah… semoga saja….
Dan akhirnya aku tetap akan pergi untuk menunggunya, namun kali ini tidak bersemangat seperti biasanya.  Berdandan sangat sederhana, menggunakan pakaian kantorku namun dengan payung yang tetap sama. Mungkin karena aku tahu kali ini pun ia akan tetap tidak datang. Aku melewati jalan yang sama dengan hati yang.. kurasa letih. Letih karena penantian yang tak kunjung usai ini.
Tepat pukul empat aku tiba ditempat ini. Berdiri dengan cemas dan sedikit senang. Entahlah, keduanya sangat tidak pasti. Seolah ia akan datang tapi.. lagi-lagi.. Entahlah.. Aku selalu melihat ke arah kanan. Arah dimana ia meninggalkanku dulu, melambaykan tangannya dan berjanji akan kembali. Aku selalu berdegup kencang ketika ada bayang yang muncul dari arah sana, sedikit menjamkan mata, memastikan itu adalah bayangannya. Namun selalu ku dapati itu bukan dia. Bukan dia yang kunanti selama ini. ;’)
Kulihat lagi arloji yang melingkari lenganku, entah sudah yang keberapa kalinya aku melihatnya. Pukul Enam. Ternyata. Sudah dua jam aku menunggunya, jalanan semakin sepi, hujan semakin deras. Aku mulai putus asa, sangat putus asa. Aku ingin berteriak. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Aku ingin pulang. Aku ingin pergi dari tempat ini. Tempat dimana aku tidak bisa mendapati dirinya datang dari arah yang sama ketika ia pergi . kemanakah ia kini? Lupakah ia padaku? Lupakah ia pada janjinya untuk kembali padaku? Tidakkah ia tahu aku selalu menantinya disini?
Kakiku letih untuk berdiri, tanganku letih memengang payung ini, hatiku lebih letih menatinya. Dan air mataku, aku sangat letih menangis setiap sore, sepanjang jalan. Aku  berhenti..

Siti Sischa Lusiana
13 Januari, 2014