Basis, kb. Dasar.
Pasti ada
suatu momen, di masa awal, ketika kau bertanya-tanya apakah kau memang jatuh
cinta kepada orangnya, atau kau jatuh cinta kepada perasaan cinta itu sendiri.
Jika
momen tersebut tak berlalu juga, itu dia-tamatlah kau.
Dan kalau
akhirnya berlalu, momen itu tak pernah pergi jauh. Ia menjulang di kejauhan,
setiap kali kau menginginkannya lagi.
Kadang-kadang
ia bahkan ada disana saat kau pikir kau mencari sesuatu yang lain, misalnya
rute pelarian, atau wajah kekasihmu,
(david levithan, 2011 hlm.32)
Kira-kira bergitulah yang aku rasakan pada
cinta kali ini, setiap kali aku menanyakan pada hati, ia masih kebingungan
bagaimana menjawabnya. Apakah aku benar-benar mencintainya atau aku hanya
mencintai perasaan cinta?
Aku tak pernah tahu bagaimana menyebutku
sehubungan denganmu. Sedikit melebihi kekasih, tetapi kurang dari pasangan.
Terlalu lama waktu yang kita habiskan dalam kemasing-masingan pada sebuah
hubungan. Aku membiarkannya, kupikir itu adalah bentuk rasa cintaku untuk
mengerti bagaimana caramu menjalani kehidupanmu dan caramu mencintaiku.
Aku menikmati masa dimana aku merindukanmu,
namun juga merasa kesal karena mendapati kenyataan bahwa tak satu teks pun kau
kirim padaku untuk sekedar menanyakan kabarku. Aku yang seharusnya memulai?
Bukankah pernah kucoba? Ya pernah, lalu kau mengabaikannya. Mencoba lagi?
Bukannya tak ingin, tapi kurasa harga diriku tidak boleh turun lebih dari yang
kemarin.
Aku menikmati masa dimana aku merindukanmu,
namun juga merasa sedih karena mendapati kenyataan bahwa sepertinya kau tak
lagi peduli padaku. Sampai pada aku menyerah dan menenggelamkan diri pada
aktivitas untuk melupakan soal aku ingin meluruhkan perasaan itu; rindu.
Lagi. Aku menahan perasaan untuk
menghubungimu biarlah aku mengetahui bahwa “ah… kau masih hidup” lewat
keaktifanmu di sosial media, atau temanmu yang juga temanku mengatakan “kemarin
aku bertemu dengannya.” Kenyataan-kenyataan itu cukup bagiku.
Aku sampai pada masa dimana akhirnya
orang-orang disekitarku mengasihaniku karena perasaanku, kadang mereka kesal
kepadaku. Aku tak pernah mengerti mengapa mereka melakukannya, padahal aku tak
pernah bermasalah dengan perasaanku. Perasaan itu, aku menikmatinya. Sungguh.
Aku rasa aku benar-benar bingung dengan
perasaan ini. Entah apa yang merasukiku sampai akhirnya aku mengatakan
keinginanku yang sebenarnya bukan benar-benar keinginanku. Aku menjadi bukan
aku. Tadinya kukira setelah aku mengatakannya, kita tidak akan benar-benar
bertemu lagi, atau berakhirlah kita. Karena bukan aku jika memaksakan apa yang
aku inginkan pada orang lain, maka jika aku telah menerjemahkan perasaan
kedalam sebuah pernyataan, itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak butuh kau
mengerti, aku hanya ingin kau mengatakan “oh, baiklah.” Aku mengira bahwa yang
akan aku katakan adalah perpisahan, lalu kau menyetujuinya.
Sebenarnya ketika aku mengatakannya, aku
telah bersiap untuk kehilanganmu, kita, dan perasaan-perasaan. Jika kau
mengatakan kita tak usah lagi bertemu atau berbicara dan saling melupakan, aku
bahkan akan dengan lapang hati mengatakan “ya, tak apa. I’m ready for it.”
Tapi sepertinya aku malah lupa untuk
mengatakan “mari kita saling melupakan dan berbahagia dengan cara kita
masing-masing.” Hingga akhirnya waktu mengantarkan kita pada saat ini…
***
Dumbfounded,
ks. Tercengang, ternganga.
Terlepas
dari segenap rasa cemburu, semua keraguan, terkadang aku terkesiap dengan
sejenis perasaan terpana dengan kita yang sekarang. Dengan kenyataan bahwa seorang
aku dapat menemukan seseorang seperti kau –itu membuatku tak sanggup
berkata-kata. Karena pasti kata-kata dapat berkonspirasi melawan kenyataan
seperti itu, memprotes betapa tidak mungkin peristiwa-peristiwa bisa berakhir
seperti itu. Meskipun ini bukanlah akhir, karena kita tak pernah tahu apa yang
akan mengantarkan kita pada kita esok hari.
Aku tidak
memberitahu satu pun temanku mengenai kita. Aku menunggu sampai setelah
perbincangan selanjutnya, karena aku ingin memastikan ini nyata. Aku tidak ingin
percaya ini telah terjadi hingga terjadi untuk kedua kalinya. Sampai sekarang,
aku masih meragukannya.
(david levithan, 2011 hlm.89)
Aku masih meragukannya. Bukannya aku
meragukanmu, aku meragukan kita.
Jujur. Bukankah kau merasa bahwa ini seperti
dipaksakan? Memaksakan agar hubungan kita seperti hubungan orang lain pada
umumnya. Aku tau itu bukan kamu yang sebenarnya. Isn’t it?
Sebenarnya aku menyukai saat ini, tapi entah
mengapa aku merasakan paksaan, kita seperti memaksakan apa yang tidak
seharusnya. Berkomunikasi hampir setiap hari, membicarakan hal yang tidak
terlalu penting, membalas pesan dengan cepat.
Kau pasti tau betul apa definisi memaksa,
paksaan; melakukan sesuatu yang tidak ingin kau lakukan. Aku merasa ini tidak
seperti seharusnya, aku merasa kau memaksakannya, aku merasa ada yang memintamu
dengan paksa untuk mengawasiku.
Kau pasti bingung dengan perasaanku yang
berubah-ubah ini, awalnya aku menginginkan kepastian namun selanjutnya aku
sendiri yang malah meragukan semuanya tapi tetap membiarkannya terjadi.
Mungkin aku butuh sedikit lebih banyak
kepastian. Kau tahu bukan kata itu adalah yang paling banyak wanita bicarakan, “kepastian”.
Aku memaksakan diri untuk lebih banyak mengutarakan perasaan, menceritakan
lebih banyak lagi hal-hal yang tak penting, bahkan memintamu melakukan sesuatu
untukku, padahal sebelumnya aku tak pernah melakukan itu, kepada siapapun.
Sebenarnya aku menyukai saat ini, tapi entah
mengapa aku rasa aku lebih menyukai masa dimana aku menikmati rasa rindu
padamu. Dimana aku bisa merasa tenang hanya dengan melihat your recent updates. Karena aku tidak menyukai masa dimana hasrat
menguasai hati dan pikiranku untuk lebih memaksakanmu memenuhinya; kau
membanjiriku dengan bukti-bukti, oleh semua jalur yang menghubungkan aku dengan
kau, dan kita dengan cinta.
Atau aku hanya mencintai perasaan cinta kepadamu?
Aku ingin lebih yakin padamu, pada perasaan-perasaanmu.
Tapi kurasa aku hanya ingin satu hal; kau mengatakan “aku mencintaimu.” Setiap
hari.