Wednesday, July 6, 2016

Dasar

Basis, kb. Dasar.
Pasti ada suatu momen, di masa awal, ketika kau bertanya-tanya apakah kau memang jatuh cinta kepada orangnya, atau kau jatuh cinta kepada perasaan cinta itu sendiri.
Jika momen tersebut tak berlalu juga, itu dia-tamatlah kau.

Dan kalau akhirnya berlalu, momen itu tak pernah pergi jauh. Ia menjulang di kejauhan, setiap kali kau menginginkannya lagi.

Kadang-kadang ia bahkan ada disana saat kau pikir kau mencari sesuatu yang lain, misalnya rute pelarian, atau wajah kekasihmu,
(david levithan, 2011 hlm.32)

Kira-kira bergitulah yang aku rasakan pada cinta kali ini, setiap kali aku menanyakan pada hati, ia masih kebingungan bagaimana menjawabnya. Apakah aku benar-benar mencintainya atau aku hanya mencintai perasaan cinta?

Aku tak pernah tahu bagaimana menyebutku sehubungan denganmu. Sedikit melebihi kekasih, tetapi kurang dari pasangan. Terlalu lama waktu yang kita habiskan dalam kemasing-masingan pada sebuah hubungan. Aku membiarkannya, kupikir itu adalah bentuk rasa cintaku untuk mengerti bagaimana caramu menjalani kehidupanmu dan caramu mencintaiku.

Aku menikmati masa dimana aku merindukanmu, namun juga merasa kesal karena mendapati kenyataan bahwa tak satu teks pun kau kirim padaku untuk sekedar menanyakan kabarku. Aku yang seharusnya memulai? Bukankah pernah kucoba? Ya pernah, lalu kau mengabaikannya. Mencoba lagi? Bukannya tak ingin, tapi kurasa harga diriku tidak boleh turun lebih dari yang kemarin.

Aku menikmati masa dimana aku merindukanmu, namun juga merasa sedih karena mendapati kenyataan bahwa sepertinya kau tak lagi peduli padaku. Sampai pada aku menyerah dan menenggelamkan diri pada aktivitas untuk melupakan soal aku ingin meluruhkan perasaan itu; rindu.

Lagi. Aku menahan perasaan untuk menghubungimu biarlah aku mengetahui bahwa “ah… kau masih hidup” lewat keaktifanmu di sosial media, atau temanmu yang juga temanku mengatakan “kemarin aku bertemu dengannya.” Kenyataan-kenyataan itu cukup bagiku.

Aku sampai pada masa dimana akhirnya orang-orang disekitarku mengasihaniku karena perasaanku, kadang mereka kesal kepadaku. Aku tak pernah mengerti mengapa mereka melakukannya, padahal aku tak pernah bermasalah dengan perasaanku. Perasaan itu, aku menikmatinya. Sungguh.

Aku rasa aku benar-benar bingung dengan perasaan ini. Entah apa yang merasukiku sampai akhirnya aku mengatakan keinginanku yang sebenarnya bukan benar-benar keinginanku. Aku menjadi bukan aku. Tadinya kukira setelah aku mengatakannya, kita tidak akan benar-benar bertemu lagi, atau berakhirlah kita. Karena bukan aku jika memaksakan apa yang aku inginkan pada orang lain, maka jika aku telah menerjemahkan perasaan kedalam sebuah pernyataan, itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak butuh kau mengerti, aku hanya ingin kau mengatakan “oh, baiklah.” Aku mengira bahwa yang akan aku katakan adalah perpisahan, lalu kau menyetujuinya.

Sebenarnya ketika aku mengatakannya, aku telah bersiap untuk kehilanganmu, kita, dan perasaan-perasaan. Jika kau mengatakan kita tak usah lagi bertemu atau berbicara dan saling melupakan, aku bahkan akan dengan lapang hati mengatakan “ya, tak apa. I’m ready for it.

Tapi sepertinya aku malah lupa untuk mengatakan “mari kita saling melupakan dan berbahagia dengan cara kita masing-masing.” Hingga akhirnya waktu mengantarkan kita pada saat ini…

***

Dumbfounded, ks. Tercengang, ternganga.
Terlepas dari segenap rasa cemburu, semua keraguan, terkadang aku terkesiap dengan sejenis perasaan terpana dengan kita yang sekarang. Dengan kenyataan bahwa seorang aku dapat menemukan seseorang seperti kau –itu membuatku tak sanggup berkata-kata. Karena pasti kata-kata dapat berkonspirasi melawan kenyataan seperti itu, memprotes betapa tidak mungkin peristiwa-peristiwa bisa berakhir seperti itu. Meskipun ini bukanlah akhir, karena kita tak pernah tahu apa yang akan mengantarkan kita pada kita esok hari.

Aku tidak memberitahu satu pun temanku mengenai kita. Aku menunggu sampai setelah perbincangan selanjutnya, karena aku ingin memastikan ini nyata. Aku tidak ingin percaya ini telah terjadi hingga terjadi untuk kedua kalinya. Sampai sekarang, aku masih meragukannya.
(david levithan, 2011 hlm.89)

Aku masih meragukannya. Bukannya aku meragukanmu, aku meragukan kita.

Jujur. Bukankah kau merasa bahwa ini seperti dipaksakan? Memaksakan agar hubungan kita seperti hubungan orang lain pada umumnya. Aku tau itu bukan kamu yang sebenarnya. Isn’t it?

Sebenarnya aku menyukai saat ini, tapi entah mengapa aku merasakan paksaan, kita seperti memaksakan apa yang tidak seharusnya. Berkomunikasi hampir setiap hari, membicarakan hal yang tidak terlalu penting, membalas pesan dengan cepat.

Kau pasti tau betul apa definisi memaksa, paksaan; melakukan sesuatu yang tidak ingin kau lakukan. Aku merasa ini tidak seperti seharusnya, aku merasa kau memaksakannya, aku merasa ada yang memintamu dengan paksa untuk mengawasiku.

Kau pasti bingung dengan perasaanku yang berubah-ubah ini, awalnya aku menginginkan kepastian namun selanjutnya aku sendiri yang malah meragukan semuanya tapi tetap membiarkannya terjadi.

Mungkin aku butuh sedikit lebih banyak kepastian. Kau tahu bukan kata itu adalah yang paling banyak wanita bicarakan, “kepastian”. Aku memaksakan diri untuk lebih banyak mengutarakan perasaan, menceritakan lebih banyak lagi hal-hal yang tak penting, bahkan memintamu melakukan sesuatu untukku, padahal sebelumnya aku tak pernah melakukan itu, kepada siapapun.

Sebenarnya aku menyukai saat ini, tapi entah mengapa aku rasa aku lebih menyukai masa dimana aku menikmati rasa rindu padamu. Dimana aku bisa merasa tenang hanya dengan melihat your recent updates. Karena aku tidak menyukai masa dimana hasrat menguasai hati dan pikiranku untuk lebih memaksakanmu memenuhinya; kau membanjiriku dengan bukti-bukti, oleh semua jalur yang menghubungkan aku dengan kau, dan kita dengan cinta.

Atau aku hanya mencintai perasaan cinta kepadamu?

Aku ingin lebih yakin padamu, pada perasaan-perasaanmu. Tapi kurasa aku hanya ingin satu hal; kau mengatakan “aku mencintaimu.” Setiap hari.


No comments:

Post a Comment